Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Penutupan Gereja: Kesalahan Gereja atau Kelemahan Penegakan Hukum?

Minggu yang lalu, saya mendapatkan sebuah artikel (Mengapa Gereja Ditolak? Dalam http://www.yabina.org/layout2.htm) yang mengulas tentang mengapa banyak terjadi penutupan gereja di Indonesia belakangan ini. Artikel tersebut mulai dengan mengutip 1 Petrus 3:13-17, dan bertanya apakah gereja-gereja di Indonesia menderita karena kebenaran atau karena kesalahan gereja sendiri? Nada dari artikel itu sepertinya ingin menyimpulkan bahwa gereja-gereja di Indonesia ditolak karena kesalahan gereja itu sendiri. Lalu artikel itu memberikan enam hal yang dianggap sebagai “kesalahan” gereja dan yang patut dijadikan bahan introspeksi.
Membaca artikel tersebut, saya merasa bahwa fokus berada pada tempat yang salah. Tentu saja gereja-gereja di mana pun, termasuk Indonesia, selalu bisa melakukan yang lebih baik lagi dalam berbagai hal, karena tidak ada gereja yang sempurna. Namun, kasus-kasus penutupan gereja akhir-akhir ini, apalagi yang disertai dengan kekerasan fisik, sama sekali tidak dapat disalahkan kepada pihak gerejanya. Kalau Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Dasar negara ini, maka tidak ada pembenaran bagi penutupan gereja atau pelarangan seorang individu maupun kelompok individu dalam melaksanakan hak asasi mereka beribadah kepada Tuhan sesuai kepercayaan masing-masing.


Lebih lanjut lagi, saya melihat bahwa artikel tersebut tidak disusun dari sudut pandang Alkitab atau rohani, melainkan pragmatisme, yaitu agar tidak “ditolak” orang-orang Islam di Indonesia. Bukan berarti tidak poin baik dalam artikel tersebut, tetapi bahkan dalam beberapa poin yang baik sekalipun, kesimpulan yang jelas justru tidak muncul. Berikut ini saya akan memberikan enam “kesalahan” atau “bahan introspeksi” yang dikemukakan oleh artikel tersebut, beserta tanggapan saya.

Beberapa faktor dapat menjadi bahan renungan bagi gereja agar menjadikan momentum penolakan terhadap gereja itu sebagai cermin untuk introspeksi diri.


1. Ungkapan kekesalan yang kalah.
Seorang tokoh Islam pernah berkomentar mengenai kaum radikal diagamanya yang membakar Mesjid (Ahmadyah) dan Gereja. Ia mengatakan bahwa tindakan itu didorong oleh rasa terdesak agama mayoritas atas migrasi agama minoritas di lingkungan mereka dan karena kesal dan merasa kalah maka timbullah reaksi yang acapkali radikal. Di negara-negara Barat yang mayoritas penduduknya beragama kristen, fanatisme yang sama juga bisa diidap oleh sekelompok kaum fundamentalis kristen, gerakan ‘anti Islam’ sekarang tumbuh di Barat;
 
Saya jadi bingung dengan poin pertama ini. Apa sebenarnya yang perlu direnungkan, dan apa yang perlu “diperbaiki” di sini? Bisa jadi memang benar bahwa orang-orang radikal yang menyerang gereja merasa terancam dan merasa “kalah.” Lalu apakah yang harus gereja lakukan? Apakah gereja harus membiarkan mereka “menang” supaya tidak diganggu? Bagaimana kalau definisi “menang” mereka adalah jika tidak ada gereja lagi di Indonesia, seperti di Arab Saudi? Tentu tidak. Gereja perlu terus mengumandangkan kebenaran, memberitakan Injil, memenangkan orang bagi Kristus. Itu yang perlu gereja lakukan, terlepas dari tanggapan orang-orang radikal agama lain. Saya melihat bahwa masalah bangsa ini justru karena gereja tidak cukup banyak memberitakan kebenaran, tidak cukup banyak memberitakan Injil, dan memenangkan orang bagi Kristus. Kalau lebih banyak orang Indonesia bertobat dan percaya Tuhan, maka masalah korupsi, penurunan moralitas bangsa, pornografi, dll., akan semakin berkurang.
Terlalu banyak pembahasan mengenai penutupan gereja berfokus pada masalah mayoritas dan minoritas. Padahal itu tidak ada hubungannya (seharusnya). Kalaupun seorang warga Indonesia adalah minoritas dalam hal tertentu, dia tetap memiliki hak-hak sebagai warga negara. Dan polisi seharusnya memastikan bahwa hak-haknya itu tidak dilanggar. Itulah negara hukum yang benar! Apakah Indonesia masih negara hukum, ataukah negara hukum rimba?

Kalau seorang Kristen pindah ke suatu wilayah yang mayoritasnya Islam, dan membeli rumah di sana, maka ia adalah penduduk di sana juga. Dan terlebih lagi, ia adalah warga negara Indonesia, yang diberikan hak-hak tertentu (dan juga kewajiban) oleh negara, di mana pun ia berada di negeri Indonesia ini, dari Sabang sampai Merauke. Salah satu hak itu adalah untuk beribadah menurut kepercayaannya. Selama ia melakukanya di tanah dan rumahnya sendiri, tanpa mengganggu orang lain, dan tanpa tindakan kriminal, maka secara hukum ia punya hak penuh untuk melakukan itu.
Dan dia berhak untuk mengundang teman, keluarga, atau siapapun yang bersedia, untuk ikut bersama dia. Bahwa fakta lapangan berkata lain justru membuktikan bahwa kesadaran dan penegakan hukum lemah di Indonesia, bukan salah orang Kristen tersebut. Jika “pihak mayoritas” tidak dapat menerima hal ini, itu menunjukkan bahwa “toleransi beragama” Indonesia yang digembar-gemborkan itu hanyalah omong kosong belaka! Toh, jika seorang beragama Islam pindah ke tempat yang mayoritas Kristen atau Hindu atau Budha, bukankah ia mengharapkan hak yang sama?

Lebih parahnya lagi, penulis artikel tersebut menyamakan apa yang dilakukan oleh radikal Islam dengan fundamental Kristen di Barat. Pastinya penulis tersebut tidak tahu banyak tentang kaum fundamental Kristen, dan hanya terpengaruh opini umum tanpa riset terlebih dahulu. Tidak dapat disangkal bahwa ada kaum “radikal” dalam kekristenan, misalnya bidat-bidat bunuh diri, dll., tetapi ini jauh berbeda dari “gerakan fundamentalisme Kristen” di awal abad 20 yang intinya adalah menolak liberalisme. Kaum fundamental Kristen hanya punya satu tiang pengajaran: yaitu kesetiaan kepada Alkitab sebagai satu-satunya otoritas tertinggi, dan komitmen untuk melakukan semua perintah Alkitab dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kaum fundamental Kristen harus “mengasihi musuh” sebagaimana Kristus ajarkan. Sayangnya, media massa sering menyamakan bidat-bidat dan kaum-kaum radikal dengan “fundamentalisme Kristen.” Kesalahpahaman ini juga karena adanya “fundamentalis” agama lain yang suka melakukan kekerasan. Tetapi pada dasarnya berbeda sama sekali. Kaum fundamentalis adalah kaum yang kembali kepada fondasi (foundation). Kalau fondasi suatu agama kacau, maka kaum fundamentalisnya akan kacau. Kalau fondasinya adalah Alkitab, maka semakin fundamental, maka semakin mirip Alkitab.
Hal yang tidak digali oleh artikel tersebut adalah perbedaan kebanyakan negara Barat dengan Indonesia, yaitu tingkat penegakan hukumnya. Bisa saja ada orang yang anti-Islam di Barat. Tetapi jika mereka melakukan kekerasan, maka mereka akan ditangkap dan dijatuhi hukuman. Apakah hal yang sama terjadi di Indonesia terhadap orang yang merusak gereja?


2. Kristenisasi Massal?
Gereja banyak dituduh melakukan kristenisasi massal, benarkah? Belum lama ini di Bekasi ada gereja dimana pendetanya dikejar-kejar dan dihalalkan darahnya, soalnya pendeta itu melayani yayasan yang mengumpulkan banyak pemulung dan melakukan aksi sosial kepada mereka, tak lama kemudian dilakukan pembaptisan masal para pemulung yang didatangkan ke kolam renang dengan banyak bus;
 
Saya merasa bahwa poin ini juga salah fokus atau tidak disampaikan dengan kata-kata yang benar. Jangan salah tanggap, saya sangat tidak setuju dengan cara-cara peng”kristenan” yang tidak alkitabiah, apakah dengan sogokan uang (money religion), iming-iming hal-hal jasmani, apalagi dengan paksaan. Jadi, kalau memang ada pendeta yang mencoba membuat orang-orang miskin menjadi “kristen” dengan cara memberi mereka uang (aksi sosial), maka jelas itu tidak alkitabiah, dan tidak akan pernah saya dukung.
Namun demikian, saya tidak habis pikir mengapa artikel yang saya kritisi ini, yang ditulis oleh lembaga Kristen, justru tidak senang dengan “kristenisasi.” Kalau kristenisasi itu dilakukan secara alkitabiah, yaitu dengan cara penyampaian Injil yang benar yang menuntut pertobatan dan iman sejati kepada Yesus Kristus, maka itu adalah tugas setiap gereja Kristus. Dan kalau itu bisa terjadi secara massal, maka puji Tuhan! Penginjilan atau penobatan orang-orang berdosa, atau yang disebut “kristenisasi” (karena percaya kepada Kristus sama dengan menjadi Kristen), adalah Amanat Agung kita dan adalah salah satu alasan utama eksistensi gereja. Apakah kita harus mengubah amanat tersebut, hanya karena ada orang yang tidak senang dan mau menutup gereja karenanya? Lebih baik gereja yang ditutup dan harus go underground karena giat memberitakan Injil daripada gereja yang berdiri terbuka tetapi tanpa hasrat memenangkan jiwa kepada Kristus. Jika harus mengutamakan “legalitas” atau “penerimaan masyarakat,” maka Rasul-Rasul di abad pertama tidak perlu menobatkan orang-orang Yahudi secara massal (3000 orang pada hari Pentakosta) dan tidak akan pernah dianiaya. Kadang-kadang kita harus bertanya, apakah sedemikian takutnya kita akan aniaya, sehingga kita tidak mau melaksanakan tugas?

Sayangnya, sepertinya banyak orang Kristen yang tidak memiliki konsep yang benar dalam hal ini. Beberapa tahun lalu, waktu sebuah STT di Jakarta ditutup massa, salah seorang teman Kristen saya berkomentar: “Ya, wajar saja. Habis, mereka terlalu vulgar. Masa mahasiswanya naik ke bis-bis dan menginjil sembarang orang di sana.” Kalau ini keluar dari mulut seorang non-Kristen, saya masih akan memaklumi sudut pandangnya. Tetapi saya sedih sekali kalau seorang “Kristen” merasa bahwa “menginjil di bis” adalah sesuatu yang salah. Saya sedih jika gereja-gereja berpikir bahwa mereka tidak boleh “agresif menginjil” karena takut akan dibenci. Bukankah itu yang terjadi kepada Tuhan kita dan para Rasul?

Memang, topik “kristenisasi” ini sudah sering diangkat dan dijadikan alasan penolakan gereja oleh berbagai pihak radikal seperti FPI, dll.Tetapi kepada orang-orang Islam, saya ingin bertanya: bukankah kalian juga ingin menyiarkan agama Islam? Bukankah FPI akan sangat senang jika ada orang Kristen yang menjadi Islam? Mengislamkan orang adalah salah satu ajaran Islam. Sama seperti mengkristenkan orang adalah salah satu ajaran Kristen. Kalau begitu, marilah kita lakukan ajaran masing-masing dengan damai. Yang penting tidak ada unsur paksaan atau penipuan. Orang Islam silakan menyiarkan agamanya, dan orang Hindu, Budha, dan Kristen, juga berhak untuk menyiarkan agamanya. Lagipula, jika seseorang memberitakan Injil kepada temannya yang beragama lain, tidak ada hukum yang dia langgar. Jadi kalau penutupan gereja terjadi karena alasan “kristenisasi,” maka penegakan hukum sangatlah lemah.


3. Fanatisme Israel.
Dalam kasus konflik Israel-Palestina, umat kristen cenderung membela Israel, bahkan banyak turis kristen berkunjung dan mendatangkan devisa untuk Israel dan menutup mata terhadap penderitaan orang Palestina di sana. Kita harus sadar bahwa nenek moyang orang Palestina sudah lebih dahulu berada di kawasan itu sebelum Abraham menyeberang dari kawasan Aram diseberang sungai Efrat ke Kanaan. Ingat juga bahwa Yesus tidak pernah mau dijadikan pembebas bangsa Israel secara fisik apalagi mendirikan kerajaan Israel, tetapi membebaskan manusia dari dosa;
 
Untuk poin yang satu ini, ada hal-hal yang saya setujui. Perjuangan Kristiani bukanlah politis. Itu bukan panggilan kita, dan bukan itu alasan kedatangan Kristus yang pertama. Di sisi lain, konflik Israel-Palestina adalah konflik yang kompleks, dan tidak ada pihak yang 100% benar atau 100% salah dalam kasus ini. Mayoritas orang Muslim di Indonesia condong untuk simpati kepada pihak Palestina, terutama karena kesamaan agama. Pemberitaan media massa di Indonesia juga cenderung menonjolkan kesalahan Israel dan menutupi kesalahan negara-negara Arab.
Orang Kristen tentu seharusnya mengasihi baik orang Israel maupun orang Palestina dengan kasih Kristus. Tetapi adanya perbedaan pendapat mengenai Israel tidak seharusnya dan tidak boleh dijadikan alasan untuk menutup gereja di Indonesia, karena ini adalah dua hal yang tidak berhubungan. Lebih lanjut lagi, yang diinginkan oleh banyak kelompok Islam radikal bukanlah “kesejahteraan Palestina,” melainkan “kehancuran Israel.”


4. Dari Katakombe ke Basilika;
Gereja-gereja diawali dengan misi yang sederhana bahkan menderita di lorong-lorong bawah tanah (Katakombe), namun setelah terkumpul masa dan kaya maka dibangunlah gereja besar bahkan megachurch yang sering mencolok dilihat (ala Basilika, masa ini disebut masa sekularisasi gereja). Seusai kerusuhan SARA di Situbondo (1996) dan sekitarnya dimana 27 gereja dirusak/dibakar, ada gereja di jalan protokol yang dibangun lebih mewah dari puing kebakarannya, ini mendatangkan kritik Sumartana almarhum yang menyebut bahwa: “Gereja kurang peka membangun dipintu masuk kota santri itu. Bandingkan ini dengan seorang yang di jalan-masuk rumahnya ada tamu tak disenangi yang berdiri dengan ‘mekakang’!
 
Gereja memang tidak perlu menonjolkan aspek fisik, namun kalau ada gereja yang dibangun besar dan megah, apakah itu suatu kesalahan? Hukum apakah yang telah dilanggar? Selama gedung dibangun di atas tanah pribadi, dengan dana pribadi, tanpa melanggar hukum, maka seharusnya tidak ada masalah. Dan daripada melihat gereja sebagai “tamu,” sebenarnya orang-orang Kristen adalah sesama warga negara yang memiliki hak-hak yang sama. Kita bukanlah “tamu” di negeri ini, kita adalah penduduk negeri ini. Herannya, fokus perhatian malah pada pembangunan kembali gereja yang “lebih mewah,” bukan pada betapa salahnya pembakaran 27 gereja pertama itu, apapun alasan yang mau dipakai. Artikel itu seolah-olah membenarkan pemikiran “saya tidak suka kamu karena rumah kamu lebih besar dari rumah saya.” Padahal, tidak jarang gereja-gereja yang kecil juga dipersulit, dan keberatan ini hanyalah suatu alasan yang dicari-cari dan yang tidak sah pula secara logika maupun hukum.


5. Denominasionalisme.
Salah satu masalah internal gereja adalah persaingan antar gereja. Kita bisa melihat kalau ditempat berdekatan dibangun beberapa gereja dari denominasi berbeda, akibatnya rasio jumlah jemaat lokal dibanding kesediaan gedung gereja menjadi pincang. Ada kota sedang didekat Situbondo dimana penulis pernah melayani dan diajak majelis berkeliling kota dan ditunjukkan sebuah gereja besar yang kapasitasnya 2.000 kursi yang dibangun dekat pesantren, lalu penulis menanyakan ‘jemaatnya berapa ya?’ jawabnya ‘200.’ Baru-baru ini seorang majelisnya memisahkan diri dan membangun gereja saingan berkiblat ke gereja sukses di Surabaya yang dibangun diantara gereja itu dan pesantren. Gereja berdempetan bukan hal baru di ruko-ruko bahkan sering berebut jemaat dan tampat parkir!
 
Masalah denominasi adalah topik yang besar dan yang tentu tidak dapat dibahas dalam tulisan ini. Biasanya muncul denominasi adalah karena perbedaan dalam poin-poin pengajaran tertentu. Karena ada kebebasan individu untuk menafsir Alkitab, maka adanya “aliran-aliran” gereja yang berlainan tidak dapat dihindari, kecuali kekristenan sudah mengadopsi sistem “fatwa” dan mulai memaksa semua orang untuk mengikuti satu aliran, gaya “penutupan Ahmadiyah.”
Tetapi yang saya tidak habis pikir adalah bagaimanakah hal ini berhubungan dengan penutupan gereja? Seharusnya tidak boleh ada hubungannya. Bahwa ada banyak gereja dan berjenis-jenis gereja itu adalah fenomena kekristenan. Kalau negara Republik Indonesia masih menganut kebebasan beragama, maka gereja boleh didirikan di tanah pribadi milik orang Kristen, tidak peduli apakah ada 20 gereja berderet sekaligus. Itu bukan urusan pemerintah, apalagi umat agama lain. Pemerintah seharusnya melindungi hak-hak warganya dan menegakkan hukum.


6. Eksklusivisme.
Salah satu kelemahan gereja masakini adalah umumnya memiliki jemaat yang berdomisili jauh dari lokasinya, akibatnya kalau masa kebaktian mobil-mobil berjubel dikekeliling gereja itu. Berbeda dengan itu, mesjid umumnya bersifat lokal dimana banyak jemaatnya berasal dari lingkungan yang sama sehingga cukup berjalan kaki, akibatnya perbedaan sosial pengunjung gereja dan lingkungan tidak besar, ini berbeda dengan gereja-gereja etnis tertentu yang cenderung tidak peduli dengan penduduk disekitar gerejanya.
 
Kalau gereja tidak peduli dengan lingkungan, maka ya, itu adalah sesuatu yang harus dibenahi. Gereja perlu memiliki hubungan baik dengan sekitarnya, bukan terutama untuk legalitas, tetapi terutama untuk memenangkan mereka bagi Kristus. Masalah yang disebutkan di atas ini sebenarnya adalah masalah yang diciptakan oleh “penolakan terhadap gereja” itu sendiri. Mengapa orang Kristen pergi ke gereja yang jauh dari domisilinya? Ada banyak alasan. Salah satunya adalah karena sulit untuk mendirikan gereja di tiap-tiap tempat. Kalau ada 2 keluarga Kristen di suatu perumahan, orang-orang radikal akan menolak pembangunan gereja di sana, dengan alasan bahwa orang Kristen hanya 2 keluarga di situ. (Padahal, adalah hak dia untuk menggunakan rumahnya untuk kegiatan yang tidak melanggar hukum). Jadi, 2 keluarga itu harus bepergian relatif jauh untuk bergereja. Tentu ini tidak dapat dibandingkan dengan mesjid yang boleh didirikan di mana saja.
Masalah mobil yang berjubel adalah salah satu dari sedikit poin yang baik dalam artikel tersebut. Itu harus menjadi perhatian gereja, dan solusi yang baik harus dipikirkan. Maksudnya, jangan sampai kehadiran gereja mempersulit warga sekitar. Demikian juga dengan pemakaian sound system yang terlalu keras dan mengganggu ketenangan warga. Walaupun demikian, kadang-kadang sulit untuk tidak memperhatikan kemunafikan yang terjadi, karena umat agama tertentu “boleh” memblokir jalan raya umum saat mereka beribadah dan mengganggu ketenangan umum dengan pengeras suara di pagi-pagi buta.


Melakukan introspeksi selalu adalah hal yang baik. Tetapi setelah saya melakukan introspeksi atas beberapa hal tersebut, saya dapatkan bahwa penutupan gereja-gereja yang terjadi belakangan ini di tanah air, sama sekali bukanlah kesalahan gereja-gereja tersebut, dan saya menyayangkan pandangan yang mengindikasikan demikian, apalagi dari sebuah organisasi Kristen. Yang menjadi masalah utama adalah lemahnya penegakan hukum dan pemerintah yang gagal memastikan kebebasan beragama, gagal melindungi hak-hak warga negaranya, sekalipun yang minoritas. Pemerintah RI telah “takut” kepada kaum radikal dari kalangan “mayoritas,” dan tidak sungguh-sungguh bertindak netral.

Sumber: Dr Steven Liauw

0 Silakan Berkomentar: