Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

KRISTUS DAN KRITIK

Pengarang “The Bible and Modern Criticism”, dll. London England.
Di dalam “Founders of Old Testament Criticism” Professor Cheyne dari Oxford memberi tempat pertama kepada Eichhorn. Ia bahkan menyebutnya, sebagai pendiri dari sekte itu. Dan menurut sumber yang sama ini, apa yang mendorong Eichhorn untuk memulai tugasnya ialah “harapannya untuk berkontribusi dalam memenangkan kembali kaum terpelajar kepada agama”. Rasionalisme Jerman pada penghujung abad ke-18 bersedia menerima Alkitab hanya dengan syarat menurunkannya ke tingkat sebuah buku manusiawi, dan kendala yang harus dihadapi ialah menghilangkan unsur mukjizat yang meliputinya. Bekerja di atas jerih payah para pendahulunya, Eichhorn mencapai hal yang memuaskan dirinya dengan menggunakan cara berpikir dari timur, yang mengambil hasil-hasil akhir dan mengabaikan proses-proses di tengahnya. Hal ini menguntungkan karena dua hal. Ia memiliki suatu unsur kebenaran dan ia konsisten dalam mempertahankan kehormatan bagi Kitab Suci (Alkitab). Karena mengenai sang pembuat “Kritik Tinggi (Higher Criticism)” telah dikatakan – yang tidak dapat dikatakan mengenai satupun dari para penggantinya, bahwa “iman untuk sesuatu yang suci, bahkan dalam mukjizat-mukjizat Alkitab, tidak pernah dihancurkan oleh Eichhorn di dalam pikiran kaum muda”.
Akan tetapi, dalam mata para penggantinya, hipotesis Eichhorn terbuka bagi penolakan yang fatal bahwa ia sama sekali tidak mencukupi. Sebab itu generasi pengkritik berikutnya mengikuti teori yang lebih drastis bahwa Kitab-kitab Musa adalah “mosaic” dalam arti bahwa mereka adalah pemalsuan-pemalsuan literer yang berumur lebih muda, terdiri dari bahan-bahan yang terdapat di dokumen-dokumen kuno dan mitos serta legenda bangsa Yunani…. Dan meskipun teori ini telah diubah dari waktu ke waktu selama abad terakhir, ia tetap merupakan pandangan “kritis” mengenai Pentateukh. Tetapi ia menghadapi dua penolakan besar, masing-masing bisa fatal. Ia tidak cocok dengan bukti-buktinya. Dan ia langsung menantang kuasa Tuhan Yesus Kristus sebagai seorang guru; karena salah satu fakta tak terbantahkan di dalam kontroversi ini ialah bahwa Tuhan kita mengesahkan Kitab-kitab Musa memiliki kuasa ilahi.


YANG ASLI DAN YANG PALSU
Sebaiknya kita membicarakan dahulu yang paling tidak penting dari keberatan-keberatan ini. Dan di sini kita harus membedakan antara Kritik Tinggi yang asli dan yang palsu. “Kritik Tinggi” yang rasionalistis, apabila Pentateukh diteliti, memulai dengan vonis, lalu mencari di sekitar untuk menemukan bukti, sedangkan kritik yang benar memulai dengan pencariannya dengan pikiran terbuka dan melanjutkannya tanpa prasangka. Perbedaan itu dapat digambarkan dengan sangat cocok oleh posisi seorang hakim Perancis yang typis dan oleh seorang hakim Inggris yang ideal di dalam suatu pemeriksaan perkara kriminal. Yang satu berusaha menghukum si terdakwa, yang lain untuk mengungkap kebenaran. “Fungsi sebenarnya dari Kritik Tinggi ialah menentukan asal-usul, tanggal dan struktur literer sebuah naskah kuno”. Itu adalah deskripsi kritik yang benar, menurut Professor Driver. Tetapi yang palsu bertujuan untuk membantah pembuktian keaslian naskah-naskah kuno itu. Adilnya pernyataan ini dipastikan oleh fakta bahwa para Hebrais dan teolog yang tertinggi pun, yang penyelidikan problem Pentateuknya telah meyakinkan mereka bahwa kitab-kitab itu adalah asli, sama sekali tidak diakui.
Setidaknya di Inggris, dan saya tidak mampu berbicara tentang Jerman atau Amerika, tidak ada seorang teolog tingkat tinggi yang telah menerima “hasil-hasil yang ditanggung” mereka. Tetapi orang-orang seperti Pusey, Lightfoot dan Salmon, belum lagi mereka yang masih tetapi bersama kita, mereka abaikan dengan keji; oleh karena Kritik Tinggi yang rasionalis bukan menyelidiki bukti, tetapi menerima keputusan.


PEMERIKSAAN FILOLOGIS
Jika, seperti yang kadang dipaksakan oleh para nabi, Kritik Tinggi itu merupakan suatu pemeriksaan filologis, itu akan menghaslkan dua kesimpulan yang jelas. Yang pertama ialah bahwa keputusannya mesti condong ke Kitab-kitab Musa; oleh karena tiap-tiap Kitab itu mengandung kata-kata khas yang cocok pada waktu dan keadaan yang terkait menurut tradisi. Hal ini diakui, dan para kritikus menghubungkan adanya kata-kata demikian dengan kepandaian Jesuit dari para imam pemalsu. Namun, itu hanya menambah berat kesimpulan berikutnya bahwa Kritik Tinggi sama sekali tidak mampu menangani persoalan utama yang ia nyatakan ditetapkannya. Karena keaslian Pentateukh harus ditetapkan atas dasar prinsip-prinsip yg sama dengan yang digunakan di dalam pengadilan-pengadilan kita mengenai keaslian dokumen-dokumen kuno. Dan bahasa dari dokumen-dokumen itu hanya merupakan sebagian dari bukti yang diperlukan dan bukan bagian yang terpenting. Dan kemampuan untuk menangani bukti tergantung pada mutu-mutu yang sebetulnya tidak dimiliki oleh kaum Hebrais, tulisan-tulisan mereka memberi bukti jelas tentang ketidakmampuan mereka untuk penyelidikan2 yang mereka bertahan menganggap sebagai simpanan istimewa mereka.
Ambil saja, umpamanya, pernyataan serius Professor Driver bahwa hadirnya dua buah kata dalam bahasa Yunani di Kitab Daniel (nama-nama alat musik) menuntut sebuah tanggal untuk kitab itu sesudah penaklukan bangsa Yunani. Telah dibuktikan oleh Professor Sayce dll. bahwa hubungan antara Babylon dan Yunani pada dan sebelum zaman Nebukadnezar lebih dari cukup menerangkan adanya alat2 musik dengan nama Yunani di ibu kota Chaldea. Dan tambahan lagi, Colonel Conder – seorang yang berwewenang sangat tinggi – menganggap kata-kata itu dari bahasa Akkadia, dan sama sekali bukan Yunani! Tetapi terlepas dari itu semua, dapat kita bayangkan bagaimana sebuah pernyataan demikian akan diterima oleh suatu tribunal/pengadilan yang handal. Cerita ini dapat diulang – merupakan catatan hal-hal yang benar – bahwa pada sebuah bazar di Lincoln beberapa tahun yang lalu, orang dikejutkan oleh berita bahwa dua orang wanita telah kehilangan dompet mereka. Kemudian dompet-dompet itu ditemukan di dalam saku sang Uskup Keuskupan itu! Atas bukti kedua dompet itu sang Uskup seharusnya dihukum sebagai pencuri, dan atas bukti dua kata itu Kitab Daniel dihukum sebagai penipuan!.


BLUNDER HISTORIS
Disini terdapat sebuah lagi perkara typis di dalam dakwaan para Kritikus mengenai Kitab Daniel. Kitab tersebut mulai dengan mencatat penyerangan Yerusalem oleh Nebukadnezar pada tahun ketiga Yoyakim, sebuah catatan yang kebenarannya telah dibuktikan oleh sejarah, naskah kuno dan sekuler. Berosus, sejarawan Chaldean, menceritakan bahwa pada waktu berlangsungnya ekspedisi ini Nebukadnezar menerima berita tentang kematian Ayahnya, dan bahwa – setelah menyerahkan urusan tentaranya dan para tahanannya yang orang Yahudi dan lain-lain, “ia sendiri bergegas pulang melintasi gurun”. Tetapi para skeptik Jerman, yang telah memutuskan bahwa Daniel adalah sebuah pemalsuan, harus menemukan suatu bukti yang mendukung keputusan mereka. Oleh karenanya mereka menemukan secara brilian bahwa Berosus di sini menunjuk pada ekspedisi tahun berikutnya, ketika Nebukadnezar memenangkan perang di Carchemish melawan tentara Mesir, dan waktu itu ia sama sekali tidak menyerang Yudea. Tetapi Carchemis terletak di sisi sungai Efrat, dan gagasan untuk “bergegas pulang” dari situ ke Babylonia melewati gurun, dapat dijadikan sebuah essay seorang pelajar! Bahwa ia melintasi gurun adalah bukti bahwa ia berangkat dari Yudea dan tahanannya tentunya, adalah Daniel dan kawan2nya pangeran. Penyerbuan ke Yudea terjadi sebelum ia naik tahta pada tahun ketiga Yoyakim, sedangkan perang Carchemis terjadi sesudah ia menjadi raja, pada tahun keempat raja Yudea, seperti telah dicatat oleh Kitab-kitab dalam Alkitab. Tetapi blunder Bertholdt yang maha besar di dalam “Book of Daniel”nya pada permulaan abad ke-19, diulangi dengan serius di dalam “Book of Daniel”nya Professor Driver pada permulaan abad ke-20.


KEKURANG-AJARAN YANG KRITIS
Tetapi mari kita kembali kepada Musa. Menurut “hipotesis kritis” buku-buku Pentateukh adalah pemalsuan literatur dari Era Exilic (zaman pembuangan) karya para imam Yerusalem pada zaman kemalangan itu. Dari Kitab Yeremia kita ketahui bahwa orang- orang itu adalah pengingkar agama yg kurang ajar, dan jikalau “hipotesis kritis” itu benar, mereka bahkan lebih buruk dari yang digambarkan oleh pengutukan nabi yang terilhami. Sebab tiada seorang ateist pun dlm abad ke-18 yang jatuh ke dalam profanitas (kekurangajaran) lebih dalam daripada yang diperlihatkan oleh cara mereka menggunakan Nama Suci. Di dalam kata pengantar bukunya “Darkness and Dawn”, Dean Farrar menyebutkan “bahwa ia tidak pernah menyentuh para pengkhotbah Kristen dengan jari khayalan”. Ketika didalam ceritanya para rasul berbicara, ia “membatasi ucapan-ucapan mereka pada kata-kata ilham”. Namun umpamanya, para penulis Pentateuch “menyentuh dengan jari khayalan” bukan hanya orang-orang suci zaman kuno, tetapi Tuhan YAHWEH mereka. “YAHWEH berbicara kepada Musa, katanya.” . Hal ini dan pernyataan2 semacam disebut tak terhitung seringnya di dalam Kitab-kitab Musa. Jika ini disebut roman, maka kekurangajaran yang lebih rendah tidak terbayangkan, kecuali mungkin mengenai orang yang sudah tidak terkejut lagi dan muak olehnya. Tetapi tidak, fakta membuktikan bahwa pendapat ini salah. Karena orang yang beriman sungguh-sungguh dan rasa hormat yang tinggi untuk hal-hal ilahi dapat begitu terbutakan oleh superstisi “agama” sehingga kesan-kesan gereja memungkinkan mereka untuk memandang buku-buku tak terhormat ini sebagai Kitab Suci. Sebagai kritikus mereka mengecap Pentateukh sebagai sebuah tenunan mitos dan legenda dan penipuan, tetapi sebagai ahli agama mereka menganggapnya:  


KEKHILAFAN-KEKHILAFAN YG DIBANTAH OLEH FAKTA.
Sebaliknya sangat penting sekali membiarkan lawan untuk menyatakan posisi mereka dengan kata-kata mereka sendiri; dan inilah pernyataan Profesor Driver mengenai kasus melawan Kitab-kitab Musa: “Kita hanya dapat berdebat atas dasar kemungkinan yang diperoleh dari gambaran kita mengenai kemajuan dari seni menulis, atau seni literatur mengarang komposisi, atau mengenai timbul dan berkembangnya nada dan rasa profetis di Israel kuno, atau dari periode di mana tradisi-tradisi tersebut di dalam cerita-cerita itu dapat terbentuk, - atau dari kemungkinan bahwa mereka telah dicatat sebelum dorongan pada kultur dari pihak kerajaan mulai terasa pengaruhnya, dan pertimbangan2 serupa, untuk mempertimbangkan sebagian besar dari itu, meskipun bisa diajukan alasan-alasan masuk akal pada satu atau lain segi, sebuah standar handal yg dapat dipercaya, hampir tak mungkin dapat bersifat tetap (fixed)”. (“Introduction’, 6TH ed. Page 123).
Penunjukan sederhana ini kepada “komposisi literer” dan “seni menulis” adalah khas. Maksudnya untuk menyembunyikan pengabaian salah satu poin utama di dalam serangan pertamanya. Andaikata “Driver’s Introduction” muncul 20 tahun lebih dini, maka asumsi bahwa literatur seperti Pentateukh dapat berasal dari zaman Musa, pasti akan dicap sebagai anakronisme. Karena salah satu dasar yang menempatkan buku-buku itu pada akhir kerajaan ialah bahwa bangsa Ibrani semasa enam abad sebelumnya adalah bangsa yang buta aksara. Dan setelah kesalahan itu telah dibantah oleh penemuan-penemuan arkeologis, masih masih dipertahankan bahwa sekumpulan undang-undang yang begitu modern, dan begitu rumit seperti undang-undang Musa tidak mungkin berasal dari zaman demikian. Akan tetapi – isapan jempol inipun hancur tatkala sekop sang penjelajah menemukan yang sekarang terkenal, Hukum Hammurabi, Amrafel dari Kitab KEJADIAN yang adalah raja Babilonia pada zaman Abraham.
Bukannya mengibarkan bendera putih ketika dihadapkan pada saksi baru ini, para kritikus dengan sangat kurang ajar, menunjuk pada hukum yang baru ditemukan sebagai asli dari hukum Sinai. Kesimpulan demikian memang wajar pada orang yang menganggap Pentateuch hanya manusiawi. Tetapi para kritikus tidak bisa mengambil kedua-duanya. Musa yang mengkopi Hammurabi haruslah Musa sesungguhnya dari Kitab KELUARAN, dan bukan Musa mistik dari Pengasingan yang menulis berabad-abad setelah Hammurabi sudah dilupakan!


TEORI YG TIDAK MASUK AKAL
Bukti tentang Hukum Hammurabi membantah satu hal penting di dalam tuduhan Pentateukh para kritikus; namun kita dapat mengambil seorang saksi lain yang kesaksiannya menghancurkan seluruh kasus mereka. Pentateukh, seperti kita semua maklum, dan hanya Pentateukh, merupakan Kitab Injil bangsa Samaria. Dengan demikian, siapakah bangsa Samaria itu? Dan bagaimana serta bilamana mereka memperoleh Pentateukh itu? Di sini kembali para kritikus harus membela dirinya. Di antara orang-orang terkemuka yang telah membela kampanye mereka di Inggris tak ada yang lebih dihormati, tak ada yang lebih jelas kesarjanaannya daripada mendiang Profesor Robertson Smith; dan di bawah ini adalah sebuah risalah dari artikelnya berjudul “Samaritans” di “Encyclopea”.
“Mereka (orang-orang Samaria) menganggap dirinya orang Israel, keturunan kesepuluh suku, dan mengaku memiliki agama ortodoks milik Musa ***. Hukum keimaman, seluruhnya didasarkan pada kebiasaan para imam di Yerusalem sebelum Pengasingan, telah diperkecil serta dibentuk setelah Pembuangan, dan dipublikasikan oleh Ezra sebagai hukum bait Zion yang telah dibangun kembali. Oleh karena itu orang-orang Samaria tentunya telah memperoleh Pentateuch mereka dari orang-orang Yahudi setelah reformasi-reformasi oleh Ezra.” Dan di dalam alinea yang sama ia mengatakan bahwa, menurut anggapan bangsa Samaria “bukan hanya bait Zion, tetapi bait Silo yang terdahulu dan keimaman Eli, adalah terpecah-belah. Meskipun demikian, ia melanjutkan dengan mengatakan, “Agama Samaria dibangun di atas Pentateukh saja”.
Sekarang, perhatikan apa artinya ini. Kita mengerti sedikit tentang kebencian rasial. Kita, malangnya, mengerti lebih banyak tentang kebencian hebat di dalam perselisihan keagamaan. Dan kedua unsur ini bergabung untuk memisahkan bangsa Samaria dari bangsa Yahudi. Tetapi, lebih dari ini, pada periode pasca pembuangan kecurigaan dan ketidaksukaan diubah menjadi kebencian yang sangat dalam. “Kejijikan” kata Robertson Smith mengenai kekasaran dan penghinaan dengan mana bangsa Yahudi menolak bantuan yang ditawarkan dalam pekerjaan membangun kembali Yerusalem dan menolak untuk mengakui mereka dengan cara apapun. Dan toh, kita masih diminta untuk percaya bahwa, tepat pada waktu itu dan tepat dalam keadaan demikian orang-orang Samaria seraya membenci orang Yahudi sama seperti kaum Orangemen membenci para Jesuits, dan mengejek seluruh sekte Yahudi terpecah-belah, tidak hanya menerima buku-buku Yahudi yg berhubungan dengan pemujaan dan menyebut buku-buku itu “buku-buku servis” untuk ritual mereka sendiri, tetapi mengangkatnya menjadi “Alkitab” mereka, bahkan dengan menyisihkan karya-karya nabi-nabi Israel mereka sendiri, serta kitab-kitab yang dihormati serta kudus yang mencatat sejarah raja-raja mereka. Di dalam seluruh jajaran keganjilan, baik yang religius maupun yang duniawi, apakah pernah diajukan suatu teori yang lebih tidak masuk akal.


SEBUAH KEADAAN LAGI YANG TAK MASUK AKAL
Tidak kurang tak masuk akalnya adalah dasar-dasar yang mendasari kesimpulan yang diajukan kepada kita. Ini adalah sebuah pernyataan dari mereka, dikutip dari buku teks standar para pemuja itu, Hasting ‘s “Bible Dictionary” : “Ini adalah setidaknya sebuah dasar yang sah bagi kesimpulan bahwa Pentateuch pertama-tama diterima oleh kaum Samaria setelah Pembuangan. Mengapa permintaan mereka untuk mengambil bagian dalam pembangunan bait kedua ditolak oleh para pemimpin rakyat Yerusalem? Sangat mungkin karena orang Yahudi mengetahui bahwa orang Samaria belum memiliki Kitab Hukum. Adalah susah untuk mengandaikan bahwa jika tidak demikian, mereka akan menerima penolakan ini. Tambahan pula, siapapun yang – seperti penulis ini – menganggap kritik modern mengenai Pentateukh pada dasarnya benar, mempunyai alasan kedua yang menentukan untuk menerima pandangan di atas.” (Artikel Profesor King, “Samaritan Pentateuch, hal. 68).
Di sini terdapat dua “alasan yang menentukan” untuk mempertahankan bahwa “Pentateukh mula-mula diterima oleh orang-orang Samaria sesudah Pembuangan”. Pertama, karena “sangat mungkin” ini dikarenakan mereka tidak mempunyai buku-buku yang dipalsukan itu, maka orang-orang Yahudi menolak bantuan mereka; maka itu mereka pulang dan menerima buku-buku palsu itu sebagai Kitab Injil mereka! Dan kedua, karena kritik telah membuktikan bahwa buku-buku tersebut hingga waktu itu belum ada. Untuk memberi ciri khas yang tepat kepada karya para sarjana ini, bukanlah tugas yang menyenangkan, tetapi telah tiba saatnya untuk mengesampingkan rasa sungkan, apabila omongan tolol semacam itu dikemukakan untuk membujuk kita membuang dari Alkitab kita Kitab Suci yang oleh Tuhan kita digunakan sebagai dasar untuk menegaskan ke-Mesias-an-Nya.


GAGASAN PENGORBANAN: SEBUAH WAHYU
Penolakan Kritik Tinggi tidak membuktikan bahwa Pentateukh itu terinspirasi oleh Allah. Seorang penulis yang menugaskan dirinya untuk menentukan tesis seperti itu di dalam batas-batas sebuah resensi boleh saja dikagumi karena semangat dan keberaniannya, tetapi pasti bukan karena kerendahan hatinya atau kebijaksanaannya. Juga tidak dituntaskan pertanyaan-pertanyaan yang terdapat di bidang sah Kritik Tinggi yang sebenarnya, umpamanya, siapa penulis kitab KEJADIAN. Tak dapat dipercaya bahwa selama beribu-ribu tahun yang telah lewat sebelum zaman Musa, Allah membiarkan rakyat-Nya di dunia tanpa wahyu. Tambahan pula, banyak dari perintah-perintah yang secara ilahi diserahkan kepada Musa hanyalah pembaharuan dari sebuah wahyu yang terdahulu.
Agama Babylonia merupakan bukti jelas untuk wahyu zaman purba demikian. Jika tidak demikian, bagaimana universalitas pengorbanan dapat dipertanggungjawabkan?? Apakah kebiasaan demikian dapat berasal dari otak manusia? Jika ada seorang gila mendapat ide bahwa membunuh seekor binatang di depan pintu musuhnya dapat mendamaikannya, para tetangganya pasti akan mengganyangnya. Dan jika ia mengembangkan kepercayaan bahwa dewanya akan ditenangkan dengan kebiasaan yang begitu menyinggung perasaan, ia pasti kira dewanya sama gilanya seperti dia sendiri. Fakta bahwa pergorbanan terjadi di semua bangsa hanya dapat diterangkan oleh sebuah wahyu zaman purba. Dan Pelajar Alkitab akan mengerti bahwa dengan cara demikian Allah berusaha menekankan kepada manusia bahwa kematian adalah hukuman untuk dosa, dan menuntun mereka menantikan sebuah pertumpahan darah dahsyat yang akan membawa hidup dan berkat bagi manusia. Tetapi Babylonia bagi dunia kuno adalah sama seperti Roma terhadap dunia Kristen. Ia selewengkan setiap perintah dan kebenaran ilahi, dan meneruskannya dalam bentuk terkorupsi. Dan di dalam Pentateukh kita mendapatkan pemunculan-kembali yang ilahi dari cara memuja yang sebenarnya. Isapan jempol bahwa versi yang menurunkan derajat dan korup itu adalah yang asli, mungkin dapat memuaskan beberapa professor Ibrani, tetapi tak seorang pun yang mengerti sedikit tentang sifat manusia, akan menerimanya. 


TIDAK CUKUP BUKTI
Namun, pada tingkat ini yang mengkhawatirkan kami bukan otoritas ilahi dari buku-buku itu, tetapi kesalahan manusia dan kebodohan serangan kritik terhadapnya. Dasar historis satu-satunya dari serangan itu adalah fakta bahwa pada kebangkitan-kembali (revival) di bawah Yosua “Kitab Taurat “ ditemukan di dalam bait oleh Hilkiah, Imam Besar, yang oleh raja muda diberi tugas untuk membersihkan dan membangun kembali tempat suci yang telah lama diabaikan itu. Itu merupakan penemuan yang sangat wajar, mengingat bahwa Musa dengan kata-kata tegas telah memerintahkan bahwa kitab tersebut harus disimpan di sana. (2 Raja-raja 22:8; Ulangan 31:26). Namun, menurut para kritikus, seluruh persoalan itu adalah sebuah trik menjijikkan dari para imam. Karena merekalah yang memalsukan kitab-kitab tersebut, menciptakan perintahnya, dan lalu menyembunyikan hasil kerja keji mereka di mana mereka yakin akan ditemukan.
Dan terpisah dari itu, satu-satunya dasar untuk “hasil terjamin dari kritik modern” seperti diakui oleh mereka sendiri, terdiri dari “dasar-dasar kemungkinan” dan “argumentasi yang masuk akal”! Di dalam Negara beradab manapun seorang penjahat ulung tidak akan dihukum karena pencurian-pencurian kecil berdasarkan bukti-bukti seperti ini, tetapi toh di atas dasar-dasar itulah kami diharuskan mengorbankan kitab- kitab suci yang telah diangkat oleh Bapa Surgawi kita menjadi “Sabda Allah” dan menjadikannya dasar dari pengajaran doktrinal-Nya.


KRISTUS ATAU KRITIK?
Dan ini membawa kita kepada penolakan kedua, yang jauh lebih berat, terhadap “hasil- hasil terjamin dari kritik modern”. Bahwa Tuhan Yesus Kristus mengidentifikasikan diri-Nya sendiri dengan Kitab Suci Ibrani, dan dengan cara khusus dengan Kitab Musa, tak seorang pun akan membantah. Dan oleh karenanya, kita harus memilih antara Kristus dan Kritik. Karena jika “hipotesis kritis” dari Pentateukh dipertahankan, maka nampaknya harus disimpulkan bahwa Dia tidak ilahi, atau bahwa catatan-catatan ajaran-Nya tidak dapat dipercaya.
Dari keduanya yang mana akan kita terima? Jikalau yang kedua, maka seluruh anggapan inspirasi harus ditiadakan, dan agnotisme harus menggantikan Iman di dalam diri setiap pemikir yang pemberani. Ilham merupakan perkara yang terlalu besar untuk diperlakukan secara sepintas di sini; namun dua ucapan mengenai hal ini mungkin pantas dikemukakan. Di belakang penipuan–penipuan Spiritualisme terdapat fakta, yang ditanggung kebenarannya oleh orang-orang berkarakter tinggi, beberapa di antaranya terkenal sebagai ilmuwan dan sarjana, bahwa dapat dipastikan hubungan-hubungan dengan kata-kata tepat telah diterima dari alam roh. (Fakta bahwa kaum Kristen percaya bahwa roh-roh adalah setan yang meniru orang-orang mati, tidak mengubah argumentasinya). Dan karena demikian halnya, untuk mengingkari bahwa Roh Allah dapat menyampaikan kebenaran dengan cara ini kepada manusia, atau dgn kata lain, untuk menolak inspirasi verbal berdasarkan teori, memperlihatkan kebodohan dari ketidakpercayaan yang diatur. Dan kedua, adalah mengherankan bahwa siapa pun yang menganggap kedatangan Kristus sebagai pembukaan rahasia Diri Allah sendiri yang tertinggi, dapat membayangkan bahwa (dengan menempatkannya tidak lebih tinggi daripada “Providensia/Pemeliharaan”) Roh Allah dapat gagal untuk memastikan bahwa umat manusia memiliki catatan yang benar dan dapat dipercaya mengenai misi-Nya dan pengajaran-Nya.


SEBUAH DILEMA YANG LEBIH TIDAK MEMBERI HARAPAN
Tetapi, jika cerita Injil itu asli adanya, kita didorong kembali kepada alternatif bahwa Dia yang mereka bicarakan tidak mungkin ilahi. “Bukan demikian,” para kritikus protes, “karena bukankah Ia sendiri mengakui ketidaktahuanNya? Dan bukankah hal ini dijelaskan oleh pernyataan Rasul2 bahwa di dalam merendahkan diriNya Ia mengosongkan diri-Nya dari Keilahian-Nya?” Kesimpulan yang ditarik dari hal ini, (dengan mengutip Buku teks standar Sekte) ialah bahwa Raja Kemuliaan “memegang pikiran Yahudi sekarang mengenai kuasa ilahi dan wahyu Perjanjian Lama”. Namun, sekalipun kesimpulan ini – mengancam dan kurangajar sekaligus – dapat dibuktikan, bukan berarti ia memberi jalan keluar dari dilema di mana Kritik Tinggi mengikut-sertakan para penggemarnya, tetapi ia akan membuat dilema ini lebih tanpa-harapan dan mengerikan. Karena yang terpenting bagi kita bukan bahwa, umpamanya pengajaran doktrinal Tuhan palsu adanya, tetapi bahwa dengan kata-kata tegas dan dengan sangat sungguh-sungguh Dia berkali-kali menyatakan bahwa pengajaran-Nya bukanlah dari Dia tetapi dari Bapa-Nya, dan bahwa kata-kata dengan mana Dia menyampaikan-Nya pun adalah pemberian Allah.
Beberapa tahun lalu kaum setia merasa khawatir oleh tingkah laku seorang “nabi” dari Chicago, yang mengaku memperoleh kuasa ilahi untuk pekerjaannya di waktu malam. Orang-orang yg baik hati, karena menolak perkiraan yg lebih keras mengenai orang itu dan ungkapan-ungkapannya di atas mimbar, hanya menganggap dia seorang tolol yang tidak sopan. Apakah para kritikus akan mengkhianati kita dengan memberi penilaian yg sama sabarnya jika pena saya menolak untuk meyelesaikan kalimatnya!
Dan apakah akan dipercaya bahwa dasar penginjilan satu satunya yang ditawarkan kepada kita bagi posisi yang luar biasa ini adalah sebuah ayat dari Injil dan sebuah kata di dalam salah satu Surat! Lebih dari aneh bahwa orang-orang yang memperlakukan Kitab Injil secara begitu bebas apabila bertentangan dengan “hasil terjamin” mereka dapat menganggap begitu penting sebuah ayat terpencil atau sebuah kata kalau dapat di salahgunakan untuk mendukung mereka. Ayat itu adalah Markus 13:32 di mana Tuhan berkata, sehubungan dengan kedatangan-Nya kembali. “Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di surga tidak dan Anak pun tidak, hanya Bapa saja”. Tetapi kata-kata ini langsung mengikuti ucapan-Nya: “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi kata-kata-Ku tidak akan berlalu”. 


SABDA ALLAH
Sabda Allah tidak “terilhami”; itulah perkataan Allah dalam arti yang lebih tinggi. “Orang-orang heran mendengarkan ajaran-Nya” diiceritakan kepada kita, “karena Dia mengajar mereka dengan kuasa (exousia). Kata ini muncul kembali di KISAH PARA RASUL 1:7 di mana Dia berkata bahwa waktu dan musim “telah di tentukan menurut kuasa-Nya “. Dan ini dijelaskan oleh FILIPI 2:6,7) :“Dia tidak menginginkan kesetaraan (sesuatu yang dapat diraih) dengan Allah, Tetapi Ia mengosongkan diri-Nya …”
Ucapan yang mendasari teori kenosis para kritikus. Dan Dia tidak hanya mengosongkan diri-Nya dari kemuliaan-Nya sebagai Allah, Dia juga rela melepaskan kebebasan-Nya sebagai manusia. Karena Ia tidak pernah mengucapkan kata-kata-Nya sendiri, tetapi hanya yang diberi Bapa kepada-Nya untuk diucapkan. Dan ini merupakan keterbatasan “kuasa”-Nya sehingga di luar apa yang diberikan Bapa kepada-Nya untruk diucapkan, Dia tidak tahu apa-apa dan Ia diam. Tetapi apabila Dia berbicara, “Ia mengajar mereka seperti seorang yang berkuasa, dan tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.” Dari ahli Taurat mereka, mereka biasa menerima ajaran tertentu, tetapi ajaran itu berdasarkan “hukum dan nabi-nabi”. Tetapi di sini ada Orang yang berdiri sendiri dan mengajar mereka dengan cara yang sangat berbeda dan jauh lebih tinggi.
“Karena”. Diucapkan-Nya, “Aku berkata-kata bukan dari diri-Ku sendiri tetapi Bapa yang mengutus Aku. Dialah yang memerintah Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan dan Aku sampaikan. *** Jadi, apa yang Aku katakan sebagaimana apa yang di firmankan Bapa kepada-ku, demikianlah Aku katakan. (Yohanes 12:49, 50. R.V.)
Dan janganlah kita melupakan bahwa bukan hanya isi ajaran-Nya yang ilahi, tetapi bahkan bahasa yang digunakan pun untuk menyampaikannya. Sehingga pada malam pengkhianatan Dia dapat berkata dalam doa-Nya, tidak hanya “Saya telah memberikan kepada mereka firman-Mu”, tetapi “Sebab segala firman yang Kau sampaikan kepada-Ku telah Ku-sampaikan kepada mereka”. (Keduanya: Logos dan rh Yohanes 17: 8,14: seperti disampaikan lagi di Yohanes 14:10,24). Oleh karena itu, tentang Musa dan Kitab Suci Ibrani bukanlah seperti yang dipertahankan oleh para kritikus dengan begitu menantang dan seakan-akan kurang sopan, bukan ide dan tahyul seorang Yahudi; itu adalah firman Allah serta kebenaran yang diwahyukan, yang ilahi dan abadi.
Waktu pada hari-hari gelap selama di dalam pembuangan, Allah membutuhkan seorang nabi yang hanya akan bicara selama diberi kata, Ia membuat Yehezkiel bisu. Dua hukuman telah dijatuhkan atas rakyat itu, menjadi budak di Babylonia selama 70 tahun dan Penawanan – dan mereka di peringatkan bahwa ketidakpatuhan yang diteruskan akan membuahkan hukuman yang lebih mengerikan: 70 tahun penghancuran. Dan hingga jatuh keputusan yang terakhir itu, Yehezkiel tetap akan bisu. (Yehezkiel 3:26; 24:27;33:22). Tetapi Tuhan Yesus Kristus tidak membutuhkan disiplin demikian. Ia datang untuk melakukan kehendak Bapa, dan sebuah kata pun tidak pernah meninggalkan bibirnya kecuali yang diberikan kepada-Nya untuk berfirman.
Tambahan lagi, dalam hubungan ini, mengherankan bahwa dua faktor yang menuntut perhatian istimewa telah terabaikan. Yang pertama ialah bahwa di dalam Markus 13, perlawanannya sama sekali bukan antara manusia dan Allah, tetapi antara Putra Allah dan Bapa. Dan kedua ialah berdasarkan Filipi 2 bahwa Ia telah diberkati dengan semua itu. Dia telah meletakkan segalanya sebelum datang ke dunia ini. “Segalanya telah diberikan kepada-Ku oleh Bapa-Ku” , Ia berfirman dan itu pada saat bukti bahwa Ia “dibenci dan disia-siakan oleh manusia” sedang menekan Dia. Reasumsi-Nya, Kemuliaan sedang menanti-Nya sekembalinya ke surga, tetapi di atas dunia ini semua telah diperolehNya (Matius 11:27).


SESUDAH KENOSIS
Yang disebutkan di atas tentunya merupakan jawaban yang cukup untuk isapan jempol kenosis oleh para kritikus, tetapi kalau-kalau masih ada yang ragu atau mencari-cari, masih terdapat jawaban lain yang lengkap dan mematikan. Apapun yang membatasi-Nya selama pengajaran-Nya di dunia , Ia telah dibebaskan sesudah Ia bangkit dari maut. Dan selama pengajaran-Nya sesudah bangkit, Ia memberi kesaksian yang terlengkap dan terjelas mengenai Kitab Suci Ibrani. Dan “mulai dari Musa, dan semua nabi yang lain, Ia menjelaskan kepada mereka semua hal di dalam seluruh Kitab Suci mengenai Diri-Nya.”. Dan sekali lagi, menetapkan segala ajaran-Nya yang terdahulu mengenai Kitab Suci itu, Ia mengatakan kepada mereka . “Ini adalah kata-kata yang Ku-ucapkan selama Aku masih bersama-sama dengan kamu, bahwa segala sesuatu harus dipenuhi seperti telah tertulis di dalam hukum Musa dan semua nabi, dan di Mazmur, mengenai Aku”.
Dan dicatat selanjutnya: “Lalu Ia membuka pikiran mereka sehingga mereka dapat mengerti Kitab Suci (PL)”. Dan kelanjutan Perjanjian Baru adalah buah dari pengajaran itu, diperluas dan dikembangkan oleh Roh Suci untuk menuntun mereka kepada seluruh kebenaran. Dan di dalam tiap Bagian dari P.B. kuasa Ilahi dari Kitab Suci Ibrani, dan terutama Kitab-kitab Musa, diajarkan atau di terima.


POKOK PERSOALAN YANG TERPENTING
Dengan demikian, pastilah sudah bahwa pokok persoalan yang terpenting di dalam kontroversi ini bukan nilai Pentateukh, tetapi Keilahian Kristus. Tetapi tulisan ini tidak berpretensi menangani kebenaran keIlahian. Tujuan sederhananya bahkan bukan untuk menetapkan kuasa Injil, tetapi hanya untuk mendiskreditkan serbuan kritik yang menyerangnya dengan memperlihatkan sifat sebenarnya dan kelemahannya yang mutlak. Dengan demikian, cara penulis terutama hanyalah kritik merusak, sehingga senjata utama para kritikus diarahkan kepada mereka sendiri.
TUNTUTAN AKAN PERNYATAAN YANG TEPAT
Mau tidak mau kita merasa tertekan untuk memberikan suatu perlakuan demikian kepada orang-orang terkemuka tertentu yang hormatnya terhadap hal-hal Ilahi tidak tercela. Perasaan yang sama kadang-kadang juga dialami oleh mereka yang berpengalaman dlm menangani kasus hasutan, atau dalam mengatasi huru-hara. Tetapi, jikalau orang yang seharusnya dihormati menempatkan dirinya di “garis tembak” mereka harus menerima risikonya. Orang-orang terkemuka itu pasti menerima hormat sepenuhnya yang menjadi haknya, asalkan saja mereka melepaskan dirinya dari omong kosong curang dari perang salib ini (yakni “hasil yang dijamin dari kritik modern”, “semua ilmuwan dan sarjana bersatu dengan kami” dan lain sebagainya – gertakan dan kepalsuan dengan mana mereka yg lemah dan bodoh ditakut-takuti atau ditipu) serta menyatakan bahwa “hasil terjamin” mereka hanyalah hipotesis yang ditinggalkan oleh para Hebrais dan teolog yang sama mampu dan terkemukanya seperti mereka sendiri.
YANG HARUS DITAKUTI
Pengaruh-pengaruh “Kritik Tinggi” sangatlah berat. Karena ia telah melengserkan Alkitab di dalam keluarga, dan kebiasaan baik dan lama “Ibadat Keluarga” dengan cepat lenyap. Serta kepentingan-kepentingan nasional yang besar-besar juga terlibat. Karena siapa yang dapat meragukan bahwa kemakmuran dan kekuatan bangsa-bangsa Protestan di dunia adalah berkat pengaruh Alkitab kapada karakter dan kelakuan? Bangsa-bangsa manusia yang generasi-demi generasi telah diajari untuk berpikir mandiri dalam hal-hal momen tertinggi tentunya akan unggul dalam setiap bidang usaha atau perusahaan. Dan lebih dari itu, tiada seorang pun yang telah dilatih dalam rasa takut kepada Allah, akan gagal dalam menjalankan tugasnya terhadap tetangga, tetapi akan menjadi warganegara yang baik. Tetapi penyingkiran Alkitab dari singgasananya akan hampir pasti mengakibatkan penyingkiran Allah; di Jerman, Amerika dan sekarang ini di Inggris, pengaruh-pengaruhnya memperlihatkan diri, dan sampai seberapa jauh akan mengakibatkan kekhawatiran bagi hari depan.


ALLAH YANG TERTINGGI
Jika sebuah kata pribadi dapat dimaafkan sebagai penutup, penulis ingin menunjuk kepada setiap buku yang telah ia tulis sebagai bukti bahwa ia tidak memperjuangkan “ke-ortodoks-an” tradisional yang kaku. Hanya dengan satu buah pembatasan ia akan mendukung kritik lengkap dan bebas terhadap Kitab Suci. Dan pembatasan itu ialah bahwa Sabda Tuhan Yasus Kristus dianggap penghalang terhadap kritik dan “akhir Perdebatan” mengenai setiap pokok yang dibicarakan dengan jelas di dalam ajaran-Nya. “Putra Allah telah datang” dan oleh-Nya telah datang pula karunia dan KEBENARAN. Dan dari tangan-NYA-lah kita telah menerima Kitab-kitab Perjanjian Lama

SUMBER 
OLEH Sir Robert Anderson, K.C.B., LL.D.

0 Silakan Berkomentar: