“Pada waktu itu hal Kerajaan Sorga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki. Lima di antaranya bodoh dan lima bijaksana. Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak membawa minyak, sedangkan gadis-gadis yang bijaksana itu membawa pelitanya dan juga minyak dalam buli-buli mereka. Tetapi karena mempelai itu lama tidak datang-datang juga, mengantuklah mereka semua lalu tertidur. Waktu tengah malam terdengarlah suara orang berseru: Mempelai datang! Songsonglah dia! Gadis-gadis itupun bangun semuanya lalu membereskan pelita mereka. Gadis-gadis yang bodoh berkata kepada gadis-gadis yang bijaksana: Berikanlah kami sedikit dari minyakmu itu, sebab pelita kami hampir padam. Tetapi jawab gadis-gadis yang bijaksana itu: Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu. Lebih baik kamu pergi kepada penjual minyak dan beli di situ. Akan tetapi, waktu mereka sedang pergi untuk membelinya, datanglah mempelai itu dan mereka yang telah siap sedia masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin, lalu pintu ditutup. Kemudian datang juga gadis-gadis yang lain itu dan berkata: Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu! Tetapi ia menjawab: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya aku tidak mengenal kamu. Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya” (Mat. 25:1-13)
Banyak orang telah mencoba menafsirkan perumpamaan yang disampaikan oleh Tuhan Yesus ini. Ada tafsiran-tafsiran yang hampir-hampir mirip dan ada yang berbeda sama sekali. Lalu tafsiran yang manakah yang benar? Tentu yang paling didukung oleh ayat-ayat Alkitab atau memiliki dasar-dasar konsep Alkitab dan sesuai akal sehat adalah yang benar.
Pertama, perumpamaan ini Tuhan ceritakan dalam rangka mempersiapkan murid-muridNya terhadap kepergianNya dan tentang sikap berjaga-jaga atas kedatanganNya kembali. Karena pada pasal 24 murid-murid bertanya tentang kapan Bait Allah akan runtuh, tanda kedatangan Sang Guru, serta kesudahan dunia.
Atas pertanyaan tersebut Tuhan memberikan banyak tanda dan nasehat. Dan juga menjelaskan tentang sifat kedatanganNya (rapture) yang akan seperti pencuri. Tuhan menasehati mereka untuk berjaga-jaga. Dan supaya semua murid akur-akur saja, Tuhan menceritakan perumpamaan tentang hamba yang setia dan hamba yang jahat. Sesudah itu Tuhan menceritakan tentang gadis yang bijaksana dan gadis yang bodoh.
Kedua, perumpamaan ini masih termasuk perumpamaan tentang “hal kerajaan Sorga” atau rahasia kerajaan Sorga, atau sesungguhnya adalah tentang jemaat Tuhan. Dari sini bisa kita perkirakan gambaran siapakah Sang Mempelai laki dan perempuan, dan siapakah gadis-gadis yang menyongsongnya.
Sebagaimana pada bagian lain Alkitab katakan, sudah pasti Sang Mempelai laki-laki adalah Kristus dan mempelai wanitanya adalah jemaat (Ef.5:22-33). Kepada jemaat Korintus Rasul Paulus berkata, “Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus (II Kor.11:2). Jemaat PB adalah calon pengantin Kristus pada saat kedatanganNya dalam pesta Anak Domba.
Kalau jemaat adalah mempelai wanita maka siapakah gadis-gadis yang menyongsong mempelai? Kelihatannya semakin akhir zaman akan semakin banyak kelompok yang menantikan kedatangan Sang Mesias, sekalipun pemahaman mesiasnya berbeda-beda. Bukan hanya di dalam kekristenan saja, bahkan Yahudi dan Islam juga mengharapkan kedatangan mesias dan imam mahdi. Sedangkan di dalam kekristenan, dari kelompok mainstream sampai yang paling sesat, di dalam benak semuanya masih terbesit sedikit tentang kedatangan Kristus dengan konsep yang berbeda-beda, dan dengan kadar intensitas pengharapan yang berbeda-beda. Jadi, gadis penyongsong itu bisa berupa semua kelompok, siapa saja, yang mengharapkan kedatangan “mesias”.
Ketiga, semuanya membawa pelita masing-masing. Pelita menggambarkan suatu bentuk jati diri, kesaksian, atau sistem ibadah masing-masing. Di dalam Perjanjian Lama, Kaki Dian di Kemah Kudus menyimbolkan kesaksian kebenaran illahi ibadah simbolik yang selalu terpancarkan oleh bangsa Yahudi sebagai penjaga ibadah simbolik Perjanjian Lama.
Pelita dalam perumpamaan ini menyimbolkan suatu bentuk ibadah yang dipegang atau dijunjung tinggi berbagai golongan agama maupun kepercayaan atau denominasi gereja. Menjelang kedatangan Tuhan banyak denominasi gereja bahkan agama dan kepercayaan akan berlomba-lomba menjunjung pelitanya masing-masing.
Keempat, minyak yang menyalakan api dari pelita-pelita. Ada theolog yang menafsirkan bahwa minyak di sini menyimbolkan Roh Kudus. Namun penulis tidak setuju karena Roh Kudus tidak diperjual-belikan. Yang bermaksud memperjual-belikan Roh Kudus tercatat hanya Simon tukang sihir di Samaria. Lalu sesungguhnya minyak di sini melambangkan apa? Di kitab PL diberitahukan kepada kita perbedaan minyak untuk penerangan dengan minyak untuk urapan. Minyak untuk lampu tidak wangi sedangkan minyak untuk acara pengurapan baunya wangi karena terbuat dari rempah-rempah (Kel.25:6, Bil.4:16).
Karena minyak dalam perumpamaan ini berfungsi menyebabkan pelitanya menyala, maka kelihatannya lebih tepat ditafsirkan sebagai kebenaran yang mendasari pemancaran kesaksian keluar. Pelita akan menyala kalau ada minyak di dalamnya, demikian juga dengan kesaksian keluar akan berarti kalau ada pengajaran kebenaran yang mendasarinya atau doktrin yang alkitabiah.
Lalu, apakah kebenaran bisa diperjualbelikan? Ternyata Salomo yang pertama memasarkannya dalam Amsal 23:23, “Belilah kebenaran dan jangan menjualnya; demikian juga dengan hikmat, didikan dan pengertian.”
Selanjutnya mari kita memahami tujuan atau pengajaran Tuhan Yesus dalam menceritakan perumpamaan ini. Jelas sekali dalam perumpamaan ini Tuhan mengatakan ada sepuluh gadis yang hendak menyongsong mempelai memasuki mahligainya. Seperti penulis katakan di atas bahwa berbagai denominasi kekristenan bahkan agama Yahudi dan Islam pun menantikan mesias dan imam mahdi mereka.
Semua kelompok mengangkat “pelita”-nya masing-masing. Kebanyakan kelihatannya tidak begitu peduli apakah pelitanya berisi minyak atau tidak. Karena jelas-jelas kekristenan adalah program Jehovah yang telah memasuki era ibadah hakekat yang telah terlepas dari ibadah simbolik Perjanjian Lama, namun masih banyak di antara mereka yang masih ngotot mempertahankan ibadah simbolik ritual jasmaniah dalam ibadah mereka. Ini sungguh bagaikan pelita kosong.
Sejak Yohanes Pembaptis muncul menunjuk kepada Sang Juruselamat, kita telah memasuki sistem ibadah di dalam roh dan kebenaran, tetapi banyak yang masih beribadah di dalam simbol dan bentuk ritual. Seharusnya tidak beribadah dalam upacara ritual namun masih banyak yang terjebak dalam berbagai ritual ibadah. Seharusnya kita sudah menyembah dengan hati, namun masih banyak yang beribadah secara jasmaniah.
Rasul Palus dalam II Timotius 3:5, berkata, “Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!” Maksud Paulus, banyak orang di akhir zaman yang terjebak dalam ibadah lahiriah, bukan rohaniah. Banyak yang mementingkan tata-cara ritual, bukan mencermati hakekat kebenaran doktrinalnya. Bahkan ada banyak yang tidak peduli pada doktrin bagaikan gadis yang tidak peduli pada minyak untuk pelitanya. Karena takut pada perdebatan sebagian menghindar dari perbincangan doktrin lalu menggantikannya dengan filsafat dan berkata-kata mutiara serta cerita devotional yang menggelitik hati.
Orang-orang Kristen terhanyut oleh kemegahan gedung, keramaian pengunjung, kebesaran organisasi, keindahan bagian luar, persis seperti pelita yang indah cantik namun tanpa minyak. Pelita yang tinggi besar, bahkan mungkin terbuat dari emas, namun tidak ada minyak sama sekali tidak berguna. Paling-paling hanya untuk pajangan bahkan bisa memecahkan kepala orang yang menabraknya. Persis seperti gereja yang besar namun dengan doktrin yang salah. Kemegahan gedung hanya untuk acara konser, itu bisa seperti pelita besar yang tidak ada minyaknya.
Banyak kekristenan kelihatannya tidak mementingkan kebenaran, hal itu terlihat dari sikap mereka yang tidak antusias terhadap doktrin. Ada sebagian yang berpikir bahwa kalau berbicara tentang doktrin biasanya akan terlihat sengit, maka sebaiknya bicara hal lain saja. Padahal lebih baik berdebat bahkan hingga sengit untuk mendapatkan kebenaran daripada melarikan diri ke hal-hal yang justru tidak penting. Di mailing list para hamba Tuhan saja biasanya yang diperbincangkan adalah hal-hal kehidupan manusia dan kesaksian yang subyektif. Banyak yang mengutip serta mempromosikan kata-kata “bijaksana” dari berbagai orang bahkan dari kaum atheis.
Apakah kalau berbicara tentang doktrin akan ada perdebatan lalu kita tidak membicarakannya? Bukankah setiap orang ingin sepasti mungkin bahwa suatu pengajaran sungguh benar untuk meyakininya? Bukankah melalui diperdebatkan atau membaca perdebatan orang lain seseorang akan mendapatkan masukan berarti baginya untuk mengambil keputusan? Sekalipun seseorang memegang pandangan yang salah secara ngotot, itu masih lebih baik daripada ngambang tanpa memiliki keyakinan sama sekali. Setidaknya ia memiliki keyakinan dan sedang meyakini sesuatu. Orang demikian biasanya kalau ada yang lebih benar dari pengajaran yang sedang diyakininya, ia akan berpindah untuk meyakini pengajaran yang lebih benar itu.
Belakangan ini juga penulis jumpai banyak pelayan Tuhan yang tidak berani mendengar atau membaca pandangan pihak lain tentang suatu pengajaran. Yang bersangkutan seolah-olah menutup telinganya rapat-rapat terhadap pendapat lain. Apakah ini bijaksana? Bagaimana ia tahu bahwa pengajaran yang sedang diyakininya adalah yang paling benar? Bisakah seorang petinju yakin dia petinju terbaik dengan sikap tidak mau muncul untuk bertanding melawan orang lain? Kebenaran yang hakiki adalah yang sudah mengalami berbagai pengujian.
Seandainya ada sembilan penjual mutiara palsu dan satu penjual mutiara asli, semua calon pembeli mutiara harus ngotot meminta agar diadakan adu keaslian. Bagi pencari mutiara asli pengujian sama sekali tidak ada ruginya bahkan sangat menguntungkan. Perdebatan theologi itu sama sekali tidak merugikan pencari kebenaran, justru itu sangat menguntungkan. Yang dirugikan adalah para penjual mutiara palsu. Mereka akan melarang perdebatan doktrin, bahkan melarang untuk memperdengarkan doktrin yang berbeda dari yang selama ini mereka ajarkan. Pembaca yang budiman, kalau gembala anda melarang anda membaca Pedang Roh , anda harus tersentak dan segera memutar otak.
Belilah kebenaran, yaitu minyak yang membuat pelitamu menyala. Jangan sampai saat kepepet baru kalang-kabut seperti lima gadis yang bodoh dalam perumpamaan Tuhan. Jangan melakukan ibadah lahiriah tanpa memahami kebenaran. Itu berarti hanya memiliki pelita saja tanpa minyak di dalamnya.
Banyak orang Kristen tidak tahu mengapa bukan Perjamuan Kudus melainkan semestinya Perjamuan Tuhan. Perjamuan Kudus adalah istilah yang dibuat oleh Roma Katolik karena mereka percaya perjamuan (holy communion) itu memang menguduskan. Padahal tidak ada perjamuan yang menguduskan karena kita dikuduskan oleh pertobatan dan iman kepada Yesus Kristus. Yang benar adalah Perjamuan Tuhan yaitu perjamuan yang diadakan untuk mengingat akan Tuhan.
Banyak orang Kristen juga tidak mengerti mengapa mereka mengaku iman “rasuli” bahwa mereka percaya gereja yang benar adalah yang Am/Katolik sambil mereka protes kepada Katolik. Apakah itu betul-betul pengakuan iman para Rasul? Sejarah membuktikan pengakuan itu muncul pada abad keempat. Dan lebih banyak lagi yang tidak mengerti mengapa di akhir kebaktian “pendeta” mereka mengangkat tangan memberkati jemaat. Mereka tidak mengerti bahwa itu adalah tindakan/praktek keimamatan yang sesungguhnya tidak boleh karena setiap orang percaya di zaman Perjanjian Baru adalah imam dan Yesus Kristus imam besar. Praktek keimamatan itu dibawa oleh Martin Luther dari Katolik yang memang memiliki jabatan keimamatan. Padahal Korah mencoba-coba menjadi imam dan Jehovah marah sehingga ia ditelan bumi.
Pembaca yang budiman, belilah kebenaran, jangan mau menjadi orang Kristen yang bagaikan kotak yang tanpa isi, atau pelita yang tanpa minyak. Di tempat gelap ia tidak berfungsi, ia hanya berfungsi sebagai hiasan saja. Demikian juga dengan semua tata-ibadah gereja yang tidak dimengerti dan tidak didasari kebenaran. Semua itu hanya sekedar hiasan yang tidak ada arti apapun.
Memang untuk mendapatkan kebenaran kadang harganya bisa sangat mahal. Untuk memberi pendidikan yang bermutu kepada anak-anak kita saja biayanya kadang sangat mengagetkan. Dan karena harganya akan naik terus, maka Salomo menganjurkankan untuk tidak menjualnya lagi.
Setelah lebih dari seratus kali mengadakan seminar dontrinal, penulis dapatkan komentar-komentar dari peserta bahwa doktrin yang diajarkan oleh GRAPHE sungguh sangat alkitabiah dan benar menurut logika. Tetapi yang bersangkutan tidak bisa putuskan untuk segera mengaminkan dan melaksanakannya karena berbagai pertimbangan, antara lain, di gerejanya yang salah sudah banyak teman akrab, ada yang takut dipecat, bahkan ada yang pasangannya mengancam untuk bercerai.
Lihatkah pembaca bahwa harga kebenaran bagi tiap-tiap orang ternyata sangat bervariasi? Ada yang tidak memiliki halangan apapun, dan ada yang terancam bercerai jika berani memihak kebenaran. Siapapun yang menunda membeli kebenaran, PASTI akan rugi besar karena jelas sekali bahwa harga kebenaran akan meningkat tajam.
Untuk membeli kebenaran “minyak” selain harganya akan semakin mahal, diperlukan waktu seperti yang terjadi pada lima gadis bodoh dalam perumpamaan Tuhan Yesus. Ketika saatnya mendesak, belum tentu kita memiliki waktu cukup untuk itu lagi. Sekali kebenaran berada di depan kita, dan jika kita tidak segera membelinya, belum tentu akan ada kesempatan kedua kali lagi. Saya menyaksikan banyak orang yang menunda untuk bergabung ke gereja yang alkitabiah dengan segala macam alasan. Akhirnya saya dapatkan mereka tidak pernah bergabung ke gereja yang alkitabiah seumur hidup mereka. Mereka semakin sesat, dan hati mereka semakin tidak peka, dan semakin sesat lagi, semakin tidak peka lagi dan semakin sesat lagi. Akhirnya mempelai akan tiba, dan mereka pasti akan ketinggalan memasuki acara Pesta Anak Domba. Berhati-hatilah!***
Sumber: Pedang Roh Edisi LXV Tahun XVI Oktober-November-Desember 2010
0 Silakan Berkomentar:
Posting Komentar